Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Kemuliaan Wanita Dalam Kacamata Al-Qur'an

Kemuliaan Wanita Dalam Kacamata Al-Qur'an

Kemuliaan Wanita Dalam Kacamata Al-Qur'an - Segala puji hanya bagi Allah Swt, Tuhan yang telah menyempurnakan segala kebaikan dengan limpahan nikmat-Nya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi yang diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam. Begitu pula kepada keluarga dan sahabat beliau. 

Saya tidak menemukan penjelasan yang lugas dan singkat tentang siapakah “wanita-wanita saleh” itu kecuali dalam firman Allah Swt berikut ini: 

“Maka wanita-wanita saleh itu ialah wanita-wanita yang tunduk kepada Allah) lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga merekal.” (QS. An-Nisa: 34) 

Dengan demikian, kesalehan wanita bertaut erat dengan kewajiban-kewajiban yang khusus dibebankan kepada kaum hawa. Dan kewajiban-kewajiban yang paling berhasil mengantarkan wanita pada kesalehan adalah apa yang dipaparkan ayat di atas, sekalipun pengertiannya masih terlalu umum (mujmal) dan pcrlu diurai lebih lanjut. 

Alas dasar itu, saya lelah mencoba menelusuri beberapa kilab tafsir dan menelaah beragam penafsiran tentang “wanita-wanita saleh”. Akhirnya, saya menemukan sebuah definisi yang paling mewakili, setidaknya dalam pandangan saya definisi tersebut dikemukakan oleh Imam Thabari di dalam kitab tafsirnya. Menukil ucapan Abu Ja'far, Imam Thabari mengatakan bahwa “wanita-wanita saleh” itu adalah wanita-wanita yang istigamah dalam menjalankan ajaran agama dan selalu berbuat kebajikan. 

Memang benar, kesalehan tidak akan terwujud tanpa keistigamahan dalam menjalankan ajaran agama atau ketika jauh dari agama. Sementara kesalehan tidak akan sempurna jika tidak diiringi kebajikan. 

Demikianlah pengertian “wanita-wanita saleh” yang dijelaskan Imam Thabari. Mengenai firman Allah selanjutnya, “wanita wanita yang tunduk (kepada Allah) lagi memelihara diri ketika suaminya lidak ada”, Imam Fakhrurrazi—penulis kitab al-Tafsir al-Kabir — menjelaskan: 

Ada dua pengertian yang dikandung ayat tersebut, 

1. Kata "tunduk" pada ayat di atas bermakna: taat kepada Allah. Sedangkan “memelihara diri ketika suaminya tidak ada” bermakna: memenuhi seluruh hak suami. Dan maksud didahulukannya ungkapan “wanita-wanita yang tunduk (kepada Allah)” daripada ungkapan “memelihara diri ketika suaminya tidak ada" adalah penjelasan bahwa seurany istri harus menyutamakan hak Allah dibanding hak suami. 

2. Ayat tersebut menjelaskan bagaimana semestinya sikap istri yang saleh ketika suaminya ada di rumah dan ketika suaminya tidak ada di rumah. Ketika suaminya ada di rumah, istri yang saleh akan taat kepada suaminya. Artinya, ia akan melaksanakan semua hak suaminya. Dan ini adalah perintah. 

Sebab, mcskipun ayat ini diturunkan dalam bentuk kalimat berita, namun maksudnya adalah perintah, yakni perintah untuk taat. Selain itu, seorang istri tidak dikatakan saleh kecuali jika ia benar-benar taat kepada suaminya. Karena Allah berfirman, “Maka wanita-wanita saleh itu (ash-shalihat) ialah wanita-wanita yang tunduk.” 

Dalam kaidah bahasa Arab, alif lam (“al”) yang menyertai kala plural (dalam hal ini, shalihat adalah bentuk jamak dari kata shalihah) menunjukan arti istighrag (meliputi semua jenis). 

Dengan demikian, makna kalimat tersebut menjadi: “waruta saleh manapun, pasti wanita yang tunduk”. Dan kata “tunduk” di sini, sebagaimana dijelaskan Imam Wahidi, bermakna umum. Maknanya mencakup taat kepada Allah & dan taat kepada suami. 

Selanjutnya, ketika sang suami tidak ada di rumah, istri yang saleh akan memelihara dirinya. Sebagaimana Allah firmankan, “.., lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.” Kata “memelihara diri” memiliki pengertian beragama. Di antaranya, 

  • pertama, menjaga diri dari perbuatan zina agar kehormatan sang suami tidak tercoreng dan tidak memberinya keturunan yang bukan dari air maninya.
  • Kedua, menjaga dan memelihara harta suaminya. 
  • Ketiga, menjaga dan memelihara rumah suaminya. 

Rasulullah Saw bersabda, “Sebaikbaiknya wanita adalah wanita yang bisa membuatmu bahagia, menaatimu, dan menjaga harta dan kehormatanmu di saat engkau tidak ada bersamanya. Kemudian beliau membacakan ayat tersebut.” 

Berkenaan dengan firman Allah selanjutnya, “karena Allah telah menjaga mereka” (bi ma hafizha Allah),

Imam Fakhrurrazi menjelaskan: 

Ungkapan di atas memiliki dua pengertian: 

1. Sebagai ganti atas apa yang telah Allah jaga selama ini untuk kemaslahatan mereka (para istri). Artinya, Allah Swt memerintahkan kepada para istri untuk menjaya hak-hak suami mereka, karena Allah telah menjaga mereka dengan mewajibkan para suami untuk senantiasa berlaku adil, bersikap baik, dan mencukupi nafkah mereka. Makna ungkapan ini (bi md hafizha Allah) sama dengan makna istilah “hadza bi dzaka” (kebaikan ini sebagai ganti dari kebaikan itu). 

2. Huruf “ma” dalam teks Arab ayat di atas (bi ma hafizha Allah) masuk dalam katergori harf mashdariyyah (huruf yang mengkatadasarkan kata kerja setelahnya). Dengan demikian, ungkapan tersebut menjadi “bi hifzh Allah”. Ungkapan ini pun memiliki dua makna. 

Pertama, “karena Allah menjaga diri mereka”. Artinya, dengan lindungan Allah-lah para istri yang saleh itu mampu memelihara diri ketika suarni mereka tidak ada di rumah. 

Dalam kaidah bahasa Arab, ini masuk ke dalam kategori idhafah al mashdar ila al-fa'il. 

Kedua, “karena mereka menjaga Allah”. Artinya, wanita yang saleh mampu memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena ia menjaga larangan-larangan dan perintah-perintah Allah. Andai kata wanita itu tidak berusaha memelihara tanggung jawab yang Allah bebankan tentu ia tidak akan taat kepada suaminya. 

Dan dalam kaidah bahasa Arab, ini masuk ke dalam kategori idhafah al-mashdar ila al-maf'ul. 

Wanita-wanita saleh itulah yang akan menjadi pokok bahasan pada artikel kali ini. Saya ingin ikut serta memunculkan mereka, agar kilau keindahan mereka memenuhi sudut-sudut cakrawala alam ini, tepat di saat banyak orang ingin memadamkannya. 

Kemuliaan Wanita Dalam Kacamata Al-Qur'an

Ummu Salamah berkata, “Suatu hari, aku bertanya kepada Rasulullah Saw "Wahai Rasulullah! Mengapa kami (kaum wanita) tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an sebagaimana kaum laki-laki? 

Namun, saat itu, Rasulullah tidak menjawab pertanyaanku. Dan pada suatu hari, ketika aku sedang menyisir rambut, Rasulullah naik ke atas mimbar. 

Segera saja aku menggulung rambutku dan menuju salah satu kamar rumahku untuk mendengarkan khutbah beliau. 

Aku menghadapkan pendngaranku ke arah pelepah kurma. Aku mendengar Rasulullah bersabda di atas mimbar, “Wahai sekalian manusia! Allah telah berfirman di dalam Kitab-Nya. Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (HR. Ahmad, Nasa'i dan Hakim) 

Keterangan Hadis 

Dan aku mengarahkan pendengaranku ke arah pelepah kurma. 

Maksudnya, pelepah kurma yang dijadikan atap masjid tempat Rasulullah Saw menyampaikan khutbahnya. Dan atap tersebut memang tidak terlalu jauh jaraknya dari kepala Rasulullah yang tengah berdiri di atas mimbar. 

(2) Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah! Aku tidak pernah mendengar Allah menyebut kaum wanita dalam peristiwa hijrah.” 

Lalu Allah Swt pun menurunkan ayat, “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sebagai pahala dari Allah. Dan di sisi Allah ada pahala yang baik." (QS. Ali Imran : 195) (HR Turmudzi, Thabari, dan Hakim) 

Hikmah Yang Bisa Kita Petik 

Dua riwayat di atas merupakan gambaran keadaan kaum muslimah di masa-masa awal penyebaran Islam. Mereka resah dan takut, karena tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an sebagaimana kaum laki-laki. 

Mereka juga khawatir bahwa keadaan yang demikian itu akan menciptakan kesan bahwa, 

  1. Kedudukan mereka tidak sama dengan kedudukan kaum pria, sekalipun mereka telah melaksanakan secara sempurna kewajiban yang dibebankan kepada mereka. 
  2. Mereka bukanlah makhluk yang baik. Akhir mereka hanyalah kemalangan dan kerugian. 

Dalam kitab al-Baghawi, pada pembahasan surah al-Ahzab, Muqatil menyebutkan sebuah riwayat yang berbunyi, “Ummu Salamah dan Naisah binti Ka'ab al-Anshariyah bertanya kepada Rasulullah Saw, "Wahai Rasulullah! Mengapa Tuhan tidak menyebut kami (kaum wanita) di dalam Kitab-Nya sebagaimana kaum lelaki? Kami sangat takut kalau kaum wanita tidak akan mendapatkan kebaikan.' Setelah itu, turunlah wahyu dari Allah sebagai jawaban dari Allah atas pertanyaan mereka itu.” 

Riwayat lain menyebutkan, ketika kembali dari Negeri Habasyah bersama suaminya Ja'far bin Abi Thalib, Asma binti Umais pergi menemui istri-istri Rasulullah Saw dan bertanya kepada mereka, “Adakah wahyu Allah yang turun dan berbicara tentang kita?” 

Mereka menjawab, “Tidak ada.” 

Ia pun segera menghadap Rasulullah dan berkata, “Rasulullah! Ketahuliah, saat ini kaum wanita sedang ketakutan dan putus-asa.” 

Rasulullah bertanya, “Mengapa demikian?” 

Asma menjawab, “Karena kaum kami (wanita) tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an sebagaimana kaum lelaki.” Lalu turuniah wahyu menjawab pertanyaan tersebut. 

Namun, sejauh manakah ayat di atas dapat meredam keresahan dan kekhawatiran kaum wanita? Dan bagaimanakah ayat di atas menjelaskan kedudukan kaum wanita di dalam Islam dan menegaskan ketidak berpihakannya kepada kaum laki-laki, baik dalam hal kemuliaan, pahala maupun ampunan? 

Pertanyaan seperti ini bisa kita lihat jawabannya dalam penafsiran para ulama terhadap firman Allah dalam surah Ali Imran, “Sebagian kalian atas sebagian lainnya.” 

Imam az-Zamakhsyari berkata, “Arti ayat tersebut adalah Kamu sekalian, baik laki laki maupun perempuan, berasal dari asal keturunan yang sama.” 

Dalam ad-Din wa an-Nashrah wa al-Muwalat, Imam Kalibi mengatakan, “Arti ayat ini adalah, Setiap dari kita berasal dari Adam dan Hawa.” 

Adh-Dhahak berkata, “Dalam hal ketaatan, kaum pria tidak berbeda dengan kaum wanita, dan kaum wanita tidak berbeda dengan kaum pria. Sebagaimana yang Allah Swt firmankan, “Baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” 

Imam Thabari berkata, “Maksud ayat itu adalah, Wahai kaum beriman yang selalu mengingat Allah! Kalian semua harus saling tolong menolong satu sama lain dalam hal perjuangan dan agama. Tidak ada perbedaan di antara kalian di hadapan-Ku dan Aku tidak akan menyianyiakan amal baik kalian untuk-Ku, baik itu laki-laki maupun perempuan." 

Dua riwayat di atas juga memberikan gambaran kepada kita betapa tingginya kepedulian kaum wanita terhadap agama, dan semangat kompetisi mereka dalam hal kebaikan dan kemuliaan di hadapan kaum pria. 

Selain itu, dua riwayat di atas juga menegaskan betapa istimewanya kedudukan kaum wanita dan pentingnya peranan mereka di dalam masyarakat Islam, serta besarnya kepercayaan dan keadilan yang diberikan Islam kepada mereka. 

Sekian artikel kali ini tentang Kemuliaan Wanita Dalam Kacamata Al-Qur'an. Semoga tulisan diatas bisa membawa manfaat dan menambah ilmu pengetahuan kita semua.

Posting Komentar untuk "Kemuliaan Wanita Dalam Kacamata Al-Qur'an"